Rabu, 26 September 2012

Team Versus Solo Effort : Part 3

Semenjak studio animasi tempat saya bernaung, mengawali karir, belajar dan berkarya akhirnya berhenti beroperasi, saya berkesempatan dan memutuskan untuk mulai bersolo karir.

Selama meniti karir di dunia animasi, saya telah menjalani dan memahami dengan cukup baik dan secara mendetail semua seluk beluk tahapan proses produksi, artinya saya memiliki modal skill dan pengetahuan yang paling tidak memadai serta memenuhi syarat untuk mulai bersolo effort.

Teknologi komputer dan program software pada saat ini juga sudah jauh berkembang dibandingkan era ketika saya masih berkecimpung di studio animasi yang lama, khususnya untuk teknologi produksi animasi 2D yang merupakan medium pilihan saya.

Berkat kecanggihan teknologi tersebut, kini cukup hanya dengan mengandalkan sebuah laptop, secara teknis semua kebutuhan sebuah studio animasi yang lengkap sudah dapat terpenuhi.

Meskipun keputusan bersolo effort dilandasi juga karena adanya desakan survival (mempertahankan kepulan asap di dapur), namun setelah mulai menjalaninya ternyata kemudian muncul pula perasaan lega dan kepuasan yang jarang atau bahkan tidak pernah saya alami selama bekerja sebagai bagian dari suatu kerja team.

Secara solo effort, proses produksi berjalan jauh lebih cepat dan lancar karena tidak diperlukan lagi proses birokratif pendelegasian pekerjaan serta langkah-langkah prosedural untuk kontrol, instruksi dan atau penyediaan perangkat manajemen produksi lainnya yang biasa dibutuhkan untuk bekerja secara team.

Tidak ada lagi waktu yang dihabiskan untuk mengadakan creative briefing, menyiapkan creative direction document/ tools (storyboard, model sheet, X-sheet, etc.), proses pemantauan kualitas kerja team atau disebut QC (quality control), revisi pekerjaan team dan sebagainya.

Problem miskomunikasi, salah tafsir dan masalah emosional yang umumnya dan dipastikan selalu terjadi jika harus berurusan atau berinteraksi dengan banyak orang, dengan berbagai sifat, mentalitas atau karakteristik serta kemampuan skillnya, secara efektif terhapuskan.

Tidak perlu lagi harus terpaksa (karena terbentur deadline, budget) rela untuk menurunkan standar kualitas (sebagai director maupun studio) hanya karena kurangnya kemampuan skill dan wawasan staff animator lainnya.

Berikut ini adalah contoh perbandingan produksi yang dihasilkan secara teamwork dan solo effort.

Teamwork: "Lateboy"
 

Karya animasi tersebut melibatkan animator sebanyak 4-6 orang, dengan lama waktu pengerjaan sekitar 4-5 minggu (20-25 hari kerja). Tehnik animasi yang digunakan adalah menggambar secara manual di atas kertas, selanjutnya proses pewarnaan dan compositing menggunakan software digital. Selain berperan sebagai director, dalam memproduksi karya ini saya mengerjakan storyboard, layout dan BG paint, key animation pada beberapa scene, coloring (ink and paint) serta editing (compositing, final mixing).

Berikutnya adalah contoh karya animasi yang saya tangani sendirian (termasuk presentasi dan meeting dengan client), seluruhnya dikerjakan secara digital (paperless), waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya kurang lebih 4 minggu juga.

Solo Effort: "Being Dumped"

 
 
Kemiripan dari dua contoh project animasi di atas adalah dari segi kendala, yaitu keduanya sama-sama dikerjakan sambil belajar atau istilah populernya “Learning by doing”.

Pada project yang dikerjakan secara team saya bekerja dengan anggota yang masih 'fresh' alias baru direkrut dan masih dalam tahap training. Sedangkan pada project yang saya kerjakan sendiri, saya masih belajar dan belum sepenuhnya menguasai software animasi yang digunakan untuk produksi.

Dari contoh perbandingan dua karya animasi tersebut mungkin dapat diambil salah satu kesimpulan penting, yaitu dengan bantuan software animasi yang kian canggih dan lengkap, tidak perlu lagi dibutuhkan banyak animator untuk mengerjakan suatu project animasi yang cukup bermutu.

Tapi...

Tergantung skill yang dimiliki dan ketahanan fisik serta mental sang animator, khusus untuk mengerjakan project yang besar, berdurasi panjang dan berkesinambungan (serial animasi, layar lebar atau feature film dan sebagainya), kerja secara team work tetap masih merupakan pilihan yang paling sehat dan waras.

Senin, 20 Agustus 2012

Team Versus Solo Effort : Part 2

Salah satu alasan utama dibentuknya teamwork adalah untuk mengumpulkan bakat-bakat serta skill terbaik dalam masing-masing bidangnya untuk kemudian digabungkan agar menghasilkan sebuah karya atau produk yang bermutu tinggi, lengkap dan sempurna.

Oleh karena itu dalam kerja team, umumnya upaya dan prestasi individual tidak akan terlalu menonjol (kecuali orang-orang yang memegang jabatan penting seperti Director, Art Director, Animation Supervisor dan lainnya) karena setiap orang yang terlibat sudah dipilah berdasarkan kualifikasinya, serta hanya berkonsentrasi pada bagian-bagian kecil dan tahap tertentu saja dari suatu proses produksi. Baru kelihatan hasilnya setelah semua elemen kecil tersebut digabungkan menjadi produk yang final.

Kesuksesan kerja team sangat ditentukan oleh kesetaraan tingkat atau standar kualitas (skill, knowledge, kompetensi, etc.) dari setiap anggota team tersebut. Contohnya dalam proses produksi animasi 2D, suatu sequence animasi yang animasi kuncinya (key animation) berhasil dibuat dengan sangat bagus dan solid (timing, posing, acting), namun ketika pada proses selanjutnya (inbetween, clean up, ink and paint, etc.) dikerjakan secara serampangan maka hasil akhirnyapun akan tampak sangat buruk.

Seorang animator yang secara individual tampak gemilang, penuh prestasi dan dielu-elukan (selebritis animasi) karena terlibat di studio animasi besar, professional (umumnya studio luar negeri) yang memproduksi film animasi berkelas dunia dan worldwide blockbuster. Belum tentu akan mampu menghasilkan kualitas pekerjaan yang sama bagusnya jika disandingkan misalnya dengan studio animasi lokal yang bermodal pas-pasan, yang masih dalam taraf membangun dan mencoba eksis di dunia industri animasi.

Kerja team yang efektif dan efisien juga sangat dipengaruhi oleh manajemen produksi yang melibatkan orang-orang yang boleh jadi non artist karena urusan mereka memang mungkin hanya berupa berkas kertas kerja seperti antara lain scheduling, notulen rapat, laporan budget dan sebagainya. Lalu kemudian juga team pendukung (support) misalnya para ahli komputer seperti programmer, production pipeline manager dan designer, storage (server) dan network specialist, IT support dan banyak lagi.

Disebabkan begitu rumit dan massive-nya penerapan cara, prosedur, policy, teknologi dan proses kerja dalam suatu perusahaan atau studio produksi animasi, maka setiap studio tersebut adalah unik; artinya satu dengan yang lainnya saling berbeda dan tidak akan pernah menggunakan managemen produksi yang persis sama. Masing-masing memiliki gaya, karakter dan ciri khas tersendiri yang akan terwujudkan dari produk yang dihasilkannya. Contohnya produk studio Pixar dapat dibedakan dari Dreamworks, Studio 4° C berbeda stylenya dengan Gonzo, Production I.G atau Ghibli dan sebagainya.

Jika seorang animator memutuskan untuk berkarya secara individual atau solo effort istilahnya. Maka ia harus mampu menguasai teknis seluruh tahapan proses produksi dari awal hingga akhir (pra hingga pasca produksi), selain juga memiliki kemampuan untuk memanage diri sendiri (waktu, peralatan, modal, dsb.) agar produksinya berjalan lancar sesuai dengan rencana kerja yang sudah ditetapkan sebelumnya (kalau ada).

Berbeda dengan bekerja sebagai bagian dari suatu teamwork, solo effort memungkinkan atau bahkan mengharuskan pelakunya sepenuhnya mengklaim tanggung jawab atas seluruh prestasi (pujian) atau mungkin kegagalan (cercaan) pada dirinya sendiri.
Kecuali di industri animasi di negara tertentu seperti Jepang misalnya, dimana terdapat suatu sistem yang memungkinkan seorang animator yang walaupun bekerja sebagai salah satu anggota dan bagian dari suatu teamwork, namun ia diperbolehkan untuk berkarya bebas sesuai dengan karakter atau ciri khas dirinya dalam menganimasikan dan menginterpretasikan suatu sequence animasi.
Ia bahkan men-direct sequence tersebut sendiri (bekerja sama atau atas masukan dari Director utamanya) yang biasanya tergolong adegan 'money shot' (adegan yang penting, berdaya jual, highlight dari rangkaian cerita, dsb).

Misalnya si A khusus dipilih untuk mengerjakan adegan perkelahian karena interpretasi dan caranya yang unik dalam menguraikan setiap gerakannya. Lalu si B sengaja dipilih untuk khusus mengerjakan animasi effect (letusan, reruntuhan, semburan asap roket atau missile dan lainnya).

Animator-animator tersebut bahkan memiliki istilah sendiri yaitu disebut 'Iron Animator' atau dalam istilah Jepang adalah 'Sakuga'.

Kasus 'Sakuga' tersebut adalah semacam anomali dimana seorang animator dapat menjadi 'dirinya sendiri' dalam ruang lingkup teamwork. Mengapa disebut anomali karena sistem sakuga tersebut dapat menyebabkan inkonsistensi dalam penuturan cerita (desain, timing, staging, etc.), karena setiap animator superstar tersebut seakan membuat 'film mini' atau 'film dalam film', boleh jadi bisa disebut semacam semi solo effort.

Team dan Solo effort masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung dari konsep dan tujuan yang ingin dicapai dalam menghasilkan suatu karya, semua orang berhak dan bebas memilih 'racunnya' masing-masing.

Mudah-mudahan tulisan saya ini dapat sedikit banyak membantu bagi mereka yang masih ragu-ragu menentukan pilihannya.


Sabtu, 18 Agustus 2012

Good Animator

Sepanjang rentang karir saya di bidang animasi 2D, ada satu tahap dimana saya harus mempertanyakan, mengevaluasi dan merumuskan kriteria yang mencirikan seorang animator yang berkualitas (skill dan attitude).

Selain berguna sebagai sarana evaluasi untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas pribadi, kriteria tersebut dapat juga sekaligus dijadikan acuan misalnya dalam hal penilaian atau evaluasi unjuk kerja (prestasi) karyawan (animator), menentukan strategi pengembangan kemampuan, wawasan serta skill staff animator, merumuskan langkah serta materi yang diperlukan untuk merekrut hingga pelatihan calon animator dan lain sebagainya.

Beruntung jilid satu bagi saya, walaupun saat itu saya masih belum terekspos dan familiar dengan kemudahan mencari jawaban melalui Wikipedia maupun Google, namun studio tempat saya bekerja kala itu memiliki perpustakaan literatur animasi yang cukup lengkap dan memadai untuk mengakomodasi semua kebutuhan saya dalam upaya pencarian (quest) tersebut.

Beruntung jilid dua, ternyata dari dulu memang usaha untuk mengenali ciri-ciri yang menjadikan seorang animator dapat dianggap sebagai animator berkualitas sudah dilakukan, dan penelitian tersebut juga tentunya bukan dikerjakan oleh orang-orang sembarangan. Jadi apa yang saya perlu kerjakan adalah menyaring, memahami dan mengolah semua informasi dan pengetahuan tersebut yang kemudian disesuaikan pula dengan kondisi yang saya hadapi dalam dunia nyata pada saat itu.

Salah satu sumber pengetahuan yang berhasil saya dapatkan mengenai ciri-cirinya animator yang baik atau bagus (kualitas skill), datang dari sang Raja (istilah saya pribadi) dunia animasi itu sendiri yaitu Walt Disney.

Pada tahun 1935 beliau secara detil dan panjang lebar menjelaskan pemikirannya mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas skill dan kemampuan para animator Disney.

Dalam salah satu bagian dari uraian pemikirannya tersebut Walt Disney menyebutkan beberapa kriteria 'Good Animator' :

- Good draftsmanship

- Knowledge of caricature, of action as well as features

- Knowledge and appreciation of acting

- Good taste of humor and gags

- Knowledge of story construction and audience values

- Good knowledge of work’s routine


Jika saya harus membahas masing-masing kriteria tersebut tentunya akan memakan banyak waktu untuk menuliskannya, sedikit banyak pemahamannya sudah saya jelaskan pada posting saya sebelumnya yaitu trilogy berjudul “Jangan (sebaiknya) Mengaku Animator (2D) Kalau:....”

Yang pasti pemikiran Walt Disney tersebut dan pengetahuan dari sumber lainnya tentang kriteria animator yang bagus, sangat berguna dan menjadi acuan saya dalam upaya untuk tidak mudah puas dan terus mencari cara serta belajar menjadi 'Good Animator'.

Berikut ini adalah sedikit kutipan cerita menarik dan sekaligus inspiratif (bagi saya pribadi) tentang usaha seorang 'animator' untuk menjadi Animator yang lebih baik, kisah ini saya sadur secara bebas dari buku “Animator's Survival Kit” karya Richard Williams (Sutradara Animasi “Who Framed Rogger Rabbit”) .

Ketika Richard Williams berusia sekitar 40 tahun, ia telah menganimasi selama 18 tahun, memiliki sendiri studio animasi yang sukses di London dan memenangkan lebih dari 100 penghargaan internasional. Namun bagi bapak yang satu ini, pendidikan animasi yang sebenarnya dalam menganimasikan artikulasi gerakan dan gaya penampilan, adalah ketika ia menyewa animator kawakan Warner Bros. Bernama Ken Harris.

Setelah berguru selama 8 tahun (jadi umurnya Williams saat itu kira-kira sudah 48 tahunan), komentar gurunya adalah: “Hey kamu sudah bisa memposisikan gambarmu secara benar, kamu tahu... kamu mungkin bisa jadi animator.” Saat itu ternyata Williams baru bisa menggambar karakter animasinya dengan ‘bagus’ dalam beragam gaya, fungsional tapi belum bisa menampilkan gaya dan gestur gerakan yang terasa lebih hidup dan meyakinkan.

Williams mendobelkan usahanya dan tahun berikutnya Ken Harris bilang “Ok, selamat ya... kamu sekarang layak disebut animator”.

Beberapa tahun setelah itu, pada suatu hari setelah memeriksa karya sang murid, Ken berkata, “Hey Dick (nicknamenya Richard Williams), kamu kayaknya bakal punya kesempatan jadi animator yang bagus .”

Setelah 14 tahun bekerja dan belajar bareng, sang guru kini sudah berumur 82 tahun dan mulai sakit-sakitan, Williams berkata (bergurau) pada gurunya, “Wah setelah sekian lama koq saya masih saja belum bisa menguasai tehnik bapak dengan baik, kayaknya jurus animasi bapak ini nanti tidak akan dapat diwariskan dan bakalan dibawa ke liang kubur nih”. Sang guru cuman nyengir dan berkata, “Gak apa-apa, kamu juga sudah mengembangkan dengan baik, tehnik kamu sendiri koq”.

Setahun kemudian Ken Harris sang guru akhirnya meninggal dunia, sementara Richard Williams terus melanjutkan studinya dengan menyewa para animator legendaris lainnya untuk ditimba ilmunya.

  
"You never know what is enough until you know what is more than enough."
                                                                                                --William Blake


“Only those who have learned a lot are in a position to admit how little they know.”
                                                                                                                    --L. Carte


Team Versus Solo Effort

Sudah menjadi pengetahuan umum jika produksi animasi membutuhkan banyak sekali SDM (sumber daya manusia), jika kita perhatikan Credit Title pada penghujung acara di setiap film animasi yang ditayangkan di bioskop atau televisi, barisan panjang daftar nama para animator yang terlibat akan terpampang dengan jelas (walaupun umumnya pada saat yang sama para penonton sudah mulai beranjak keluar ruangan bioskop atau memindahkan channel tv mereka).

Kerja team tidak ayal lagi sangat diperlukan karena terbatasnya waktu dan ongkos produksi yang disediakan untuk meyelesaikan suatu project animasi, selain tentunya juga keharusan untuk menjaga dan menghasilkan kualitas animasi yang terbaik.

Sebagai gambaran sederhana, dalam dunia produksi animasi professional, untuk menghasilkan kualitas animasi terbaik (Feature Film Quality) dengan menggunakan medium animasi 2D (classical animation/ hand drawn), seorang key animator rata-rata hanya mampu menyelesaikan antara 5 – 12 detik animasi (approved/ final) setiap minggu (5-7 hari kerja). Bayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan project animasi dengan durasi 5400 detik (90 menit) jika hanya dikerjakan oleh satu orang saja (belum termasuk pekerjaan lanjutannya seperti clean up, in-between, ink and paint, dan sebagainya).

Tidak tertutup juga munculnya permasalahan atau alasan seperti misalnya; tidak semua orang yang ingin memproduksi animasi memiliki modal untuk menyewa sekian banyak animator, atau ternyata SDM animator berkualitas yang dibutuhkan tidak tersedia atau ada juga animator yang ingin menghasilkan karya pribadi dengan tujuan idealisme, unjuk gigi, portfolio (pemula, lulusan atau pelajar di sekolah animasi, etc.), dan lain sebagainya.

Oleh karena itu pertanyaan yang relevan adalah apakah memungkinkan untuk memproduksi animasi berkualitas tinggi secara individual ?

Jawaban standard dan cenderung klise tentunya adalah bisa, dimana ada kemauan pasti ada jalan.

Sedangkan jawaban yang lebih pragmatis adalah, memproduksi animasi secara individual pastinya dapat dilakukan, namun melalui syarat dan kondisi tertentu.

Produksi animasi dengan durasi pendek (dibawah 30 menit) adalah salah satu pilihan kondisi yang paling logis dan memungkinkan untuk dikerjakan sendirian. Banyak sekali contoh film animasi pendek yang dapat kita temukan di dunia maya, umumnya adalah karya pelajar sekolah animasi sebagai syarat kelulusan, namun ada juga animator kawakan yang secara rutin menelorkan karyanya dalam bentuk film pendek, dan biasanya dipublikasikan di sirkuit film festival atau label indie.

Salah satu contoh sukses film animasi pendek yang dikerjakan secara individual adalah karya animator Jepang; Makoto Shinkai yang berjudul “Hoshi no Koe” yang dirilis pada tahun 2002. Film animasi pendek 2D (Anime, OVA) berdurasi 25 menit tersebut ditulis, diproduksi dan disutradarai sendiri oleh Makoto Shinkai dan membutuhkan waktu 7 bulan untuk merampungkannya. Makoto Shinkai tidak sepenuhnya bekerja sendiri, ia mendapatkan bantuan dari sang istri untuk mengisi suara karakter (selanjutnya dibuat versi professionalnya ketika dvdnya dirilis) dan seorang rekan dekatnya untuk musik dan efek suara.

Animator kawakan lainnya yang rajin menelorkan karya film animasi pendek diantaranya adalah Bill Plympton, Michael Dudok De Wit, Cordell Barker, Nick Cross, Richard Condie, Joanna Priestley dan banyak lagi. Sedangkan sekolah animasi terbaik di dunia yang selalu mempublikasikan film pendek karya siswanya yang sangat berkualitas tinggi antara lain adalah Gobelin dan Sheridan College.

Jika film pendek lebih bersifat idealis atau perwujudan kebutuhan ekspresi kreatif dan seni sang animator secara bebas, pilihan lainnya yang lebih bersifat komersial salah satu diantaranya adalah project TV Commercial atau iklan TV.
Durasi yang berkisar antara 15 hingga 60 detik cukup ideal untuk dikerjakan secara individual, tantangannya adalah bagaimana menyelesaikan project iklan tersebut dengan tenggat waktu yang cenderung 'mepet' sekaligus memenuhi 'kualitas' yang diharapkan atau ditentukan oleh pihak client.

Selain durasi atau beban kerja, faktor lainnya seperti pengetahuan teknis, skill, koneksi (modal, klien, distribusi, publikasi etc.) dan manajemen personal (disiplin, waktu, etc.) adalah elemen penting yang memungkinkan seseorang menangani seluruh aspek produksi animasi secara individual dengan hasil produksi yang bemutu tinggi.


Bersambung....

Jumat, 06 April 2012

(Part 3) Jangan (sebaiknya) Mengaku Animator (2D) Kalau: Tidak Menguasai SOP Produksi Animasi

Seorang maestro animator dari Disney yang bernama Milt Kahl mengatakan; "Kalau seluruh pengetahuan dan tehnik dasar sudah benar-benar dikuasai, barulah kita memiliki peralatan untuk berkarya, dan hanya setelah itulah kita baru benar-benar siap untuk menghasilkan."

Dalam bidang animasi, pengetahuan dan tehnik dasar yang dimaksud adalah penguasaan skill menggambar yang lengkap, pemahaman tentang prinsip animasi beserta aplikasinya, mengenal SOP (Standard Operating Procedure atau work routine) secara detail dan menyeluruh serta penguasaan teknis perangkat produksi. Tidak cukup hanya sekedar hafal, paham atau mengerti namun harus sudah menjadi kebiasaan (second nature) yang sifatnya refleks.

Jika seorang yang mengaku animator masih saja dipusingkan dengan hal-hal teknis seperti misalnya bagaimana cara menggambar secara struktural, bingung menerapkan kaidah perspektif, tidak bisa mengisi atau membaca Dope Sheet (time sheet atau exposure sheet), tidak hafal bahasa atau istilah-istilah produksi (instruksi teknis), tidak biasa memakai stopwatch dan sebagainya.
Bagaimana mungkin ia bisa dengan leluasa melakukan tugasnya sebagai animator yaitu menciptakan seni gerakan, melakukan studi, eksplorasi gerakan, berakting, meresapi atau menghayati sifat dan perilaku karakter yang dianimasikannya (sesuai arahan sutradara).

Memang ada beberapa detail tahapan produksi yang mungkin tidak dipraktekkan lagi, sejak proses produksi dari cara lama atau klasik yang sepenuhnya dikerjakan secara manual, beralih ke proses produksi digital (computerized, tradigital). Namun pada umumnya teknis dan prosedur kerja masih tetap saja sama dan tidak mengalami terlalu banyak perubahan selain media perantaranya saja (software dan hardware komputer).

Dalam produksi animasi 2D digital dengan tehnik Cut Out Animation misalnya, proses manual seperti Inbetween, Clean Up serta pewarnaan (ink & paint) sudah tidak diperlukan lagi karena proses tersebut sepenuhnya telah diotomatisasi.
Namun pada tahap awal produksi (persiapan), tetap saja masih diperlukan prosedur manual seperti menghitung timing dengan menggunakan stopwatch, mengurai rekaman musik dan suara (dialog) atau istilahnya Sound Breakdown (mengandalkan tehnik otomatisasi saja tidak cukup), penulisan instruksi kerja dan segala informasi yang diperlukan dalam bentuk storyboard dan atau dope sheet (Xsheet), apakah itu bagi animator, compositor, editor, dan sebagainya.

Animator wajib mengenal dan fasih berkomunikasi dengan bahasa produksi yang baku, baik secara verbal ataupun tertulis melalui perangkat standard (dope sheet, storyboard, layout, etc.). Yaitu ketika ia memodifikasi atau menyempurnakan arahan awal (setelah mendapat approval dari director), yang kemudian harus diteruskan kepada team lain yang akan mengerjakan proses selanjutnya (inbetweer, clean up artist, inker, compositor).

Animator juga harus secara penuh menguasai peralatan produksi beserta seluruh perangkat pendukungnya (administratif atau manajemen produksi), seperti misalnya menggunakan stop watch, software dan hardware animasi, membuat timing chart, membaca dan mengisi dope sheet, administrasi file dan folder kerja sesuai aturan (convention) dan lain sebagainya.

Jadi ketika pada era komputer sekarang ini, dimana segala prosedur dan proses produksi semakin dipermudah atau bahkan diotomatisasi, bukan berarti seorang animator tidak perlu lagi menguasai detail prosedural tersebut.
Masalahnya adalah ketika para calon animator belajar produksi animasi digital secara otodidak (atau lebih parah lagi jika berguru pada orang yang salah, atau tidak pernah punya pengalaman kerja di industri animasi professional), dan biasanya bekerja secara perorangan atau dalam kelompok kecil.
Karena tersedianya berbagai fasilitas kemudahan (otomatisasi) dari software produksi animasi tersebut, pada umumnya SOP serta cara kerja prosedural akan diabaikan dan hanya dipahami seperlunya saja, sehingga cenderung yang terjadi adalah melakukan cara kerja dengan tehnik 'jalan pintas', merujuk pada prinsip 'yang penting jadi'.

Untuk menghasilkan karya animasi yang berkualitas tinggi, diperlukan penanganan dan manajemen produksi yang berorientasi detail serta professional. Apalagi jika menyangkut produksi yang membutuhkan kolaborasi dari banyak orang (team work) yang bukan hanya dalam satu studio melainkan juga secara jaringan (network) yang tersebar ke kota atau bahkan negara lain.

Penguasaan SOP dan perangkat kerja yang baik, akan menghindarkan terjadinya salah tafsir, miskomunikasi dan sangat meningkatkan efisiensi kerja (mengurangi faktor kesalahan secara signifikan) serta  memaksimalkan kualitas produksi karena lebih banyak waktu dialokasikan untuk berekspresi dan mengerjakan animasi yang sesungguhnya.

Ulasan di atas mungkin dapat juga menjadi pelengkap bahan renungan untuk menganalisa kenyataan mengapa industri animasi di Indonesia sulit sekali untuk maju, kecuali bagi segelintir studio animasi professional yang rela berpayah-payah mengaplikasi SOP yang berlaku global para proses produksinya.

Tulisan ini sekaligus mengakhiri trilogy yang bertajuk "Jangan Mengaku Animator Kalau:...", karena bagi saya 3 topik tersebut adalah unsur utama yang hukumnya wajib untuk dimiliki seseorang yang memang ingin menyandang gelar animator.

Masih ada kualifikasi lainnya yang akan memastikan tersematnya tambahan 'titel' pada gelar animator yang mungkin sudah anda miliki, yaitu untuk menjadi  'Good' Animator...

 next...


Selasa, 03 April 2012

10 Film Animasi Biang Kerok

Banyak sekali sumber inspirasi yang menjadi ilham atau motivator bagi seseorang untuk memilih bidang karirnya. Bagi saya film animasi adalah salah satu biang kerok, yang jadi penyebab mengapa sampai sekarang saya tetap 'stuck' di bidang animasi.

Berikut ini adalah beberapa (10 saja) film animasi layar lebar terfavorit saya, yang saya susun berdasarkan besarnya pengaruh pada diri saya, juga karena kualitas teknis filmnya (cerita, acting, storytelling, cinematography, etc.) yang tidak ada duanya, serta dahsyatnya pancaran kekuatan energi dan passion dari para animator yang terlibat didalamnya, yang sangat saya rasakan sehingga menginspirasi dan memotivasi saya, untuk pada suatu saat nanti, paling tidak bisa menghasilkan karya dengan kualitas yang mampu menyamainya (melebihi? Just keep on dreaming!)

1. Snow White and the Seven Dwarfs (Disney)



Film animasi 2D layar lebar yang memulai segalanya, sebuah debut project animasi dengan durasi panjang dari studio Walt Disney, setelah sebelumnya mengasah kemampuan dan skill animasi melalui film-film pendek. Akan banyak sekali dibutuhkan kata, kalimat atau paragraf untuk mengekspresikan kekaguman saya terhadap film ini, sebuah masterpiece yang tidak akan lekang dimakan zaman.





2. Laputa (Ghibli)


Film Anime layar lebar pertama yang saya tonton (via kaset betamax rental), yang sejak selesai saya tonton kali pertama itu, kesannya terus membekas sampai saat ini.





3. Jungle Book (Disney)


Siapa yang tidak akan kagum melihat begitu anggunnya Shere Khan bergerak, dan betapa hidup serta kuatnya karakter si Harimau Benggali tersebut, walaupun hanya ditampilkan melalui rangkaian gambar. Belum lagi karakter animasi lainnya seperti Mowgli, Baloo, King Louie, Bagheera dan sebagainya.







4. Sleeping Beauty (Disney)


Salah satu film animasi yang saya tonton langsung di layar bioskop, semasa kanak-kanak dulu. kalau saya bayangkan sekarang kira-kira bagaimana ekspresi wajah saya sepanjang durasi film tersebut, tentunya tidak jauh dari mata yang terbuka lebar dengan minimum kedip, serta mulut yang konstan menganga jika tidak sedang mengunyah popcorn atau meneguk minuman bersoda.





5. My Neighbour Totoro (Ghibli)


Pertama kali diperkenalkan oleh mentor animasi saya dari Kanada, yang tidak terlupakan adalah takjubnya kesan pertama ketika menyaksikan penggambaran alam pedesaan yang terasa begitu familiar (pengalaman pribadi sebagai anak kampung yang pernah kenyang main di sawah dan sungai) dan 'menyihir'.







6. Bambi (Disney)


Ulah Thumper yang begitu menggemaskan, gerakan ekspresif animasi binatang-binatang hutan yang sangat believable dan nyata (walaupun hasil rekayasa para animatornya) dan banyak elemen menggugah lainnya. Sulit diungkapkan hanya dalam kalimat singkat.





7. Kiki's Delivery Service (Ghibli)



Lagi-lagi karya masterpiece dari Hayao Miyazaki, penuh dengan detail dan 'passion'.





8. Akira (Katsuhiro Otomo)



Kolossal, visualisasi super detail yang sangat mencengangkan, pencapaian dari segi teknis (dalam kerangka manual) yang begitu tinggi, inspiratif dan mendorong semangat saya (siapapun) untuk lebih mengeksplorasi kreatifitas serta inovasi dalam menciptakan suatu karya animasi.







9. Toy story (Pixar)


Film animasi 3D yang memulai segalanya, 'nuff' said.





10.The Nightmare Before Christmas (Tim Burton)


Ajang pamer skill dan tehnik animasi stop motion yang minta ampun tingginya, lagi-lagi bukti unjuk dahsyatnya 'passion' para animatornya, untuk selalu menghasilkan karya yang 'mendobrak'.





Perasaan serta kesan sama yang selalu muncul begitu selesai menonton film-film tersebut adalah rasa gemas, semangat membara, tapi juga sekaligus muncul kecenderungan untuk selalu mempertanyakan level semangat, serta passion yang saya sendiri miliki; apakah sudah cukup untuk melakukan hal yang sama ? Cukup untuk mulai bekerja keras ? Berkomitmen teguh demi menghasilkan karya yang dapat dibanggakan dan jadi bahan untuk diceritakan kepada anak cucu kelak?

Only time will tell...

Senin, 02 April 2012

(Part 2) Jangan (sebaiknya) Mengaku Animator (2D) Kalau: Tidak Paham Prinsip Animasi


Hampir semua orang yang memiliki minat yang dalam pada bidang animasi, tahu definisi kamus tentang animasi, yaitu berasal dari kata "animate" yang terjemahannya adalah memberikan kehidupan (to give life to).
Dalam dunia animasi, unsur yang paling utama yang mengindikasikan bahwa sesuatu itu 'hidup' adalah gerak. Namun menggerakkan suatu benda dari posisi A ke B belum tentu bisa disebut memberikan kehidupan.

Norman McLaren adalah salah satu pelopor animasi dan animator legendaris dunia, menyatakan; "Animation is not the art of drawings that move, but the art of movements that are drawn". Terjemahan singkatnya yaitu; animasi adalah 'seni gerakan' yang digambar.

Lalu apa hubungan antara memberikan 'hidup' dengan 'seni gerakan'?

John Lasseter dalam artikel presentasinya pada tahun 1993 menuliskan, untuk memberikan 'hidup' pada suatu gerakan animasi, harus diketahui terlebih dahulu alasan, situasi serta tujuan, yang menjadi faktor penyebab mengapa suatu obyek harus bergerak.
Pendapat tersebut sangat logis karena dengan diketahui alasannya, maka gerakan yang dihasilkan dapat memiliki bentuk serta ekspresi tertentu yang sesuai. Misalnya anatomi gerakan memukul dengan alasan atau motivasi 'marah', akan sangat berbeda dengan gerakan yang didasari motivasi lain, seperti 'sayang' atau 'bercanda'. Bahkan jenis dan sifat karakter (macho, garang, lembut, gemulai, dan sebagainya) juga akan menghasilkan variasi bentuk gerakan yang berbeda pula.
Lasseter lalu menambahkan; gerakan dalam animasi yang didasari alasan, adalah dasar dari animasi karakter, dan untuk memahaminya diperlukan pengetahuan dan aplikasi 'prinsip-prinsip dasar animasi'.
   
Prinsip dasar animasi yang dimaksud oleh John Lasseter adalah hasil study dan analisa para animator Disney dengan cara menguraikan anatomi suatu gerakan (faktor internal dan atau eksternal yang mempengaruhi gerakan, aksi dan reaksi, etc.), hingga didapatkan pola-pola spesifik pembentuk gerakan, yang kemudian diformulasikan sebagai prinsip-prinsip animasi. Selanjutnya dalam kegiatan menganimasi, dengan berpedoman pada rumusan prinsip-prinsip tersebut, para animator akan lebih mudah mengindentifikasi bagian-bagian tertentu dari suatu anatomi gerakan, yang perlu direkayasa agar menghasilkan animasi yang terasa hidup.

Atau dengan kata lain, walaupun sepenuhnya mengacu atau mengimitasi gerakan yang 'asli', namun pada kenyataannya gerakan yang dihasilkan melalui medium animasi, yang tampak 'hidup' tidak akan sepenuhnya mirip dengan acuan aslinya tersebut.
Hal itu disebabkan selain karena limitasi teknis medium animasi, seperti visualisasinya yang menggunakan tehnik menggambar (bukan fotografi atau live shoot) dan keterbatasan jumlah 24 frame untuk tiap detik (film). Ditambah pula dengan adanya unsur pertunjukan (theatrical performances, acting).
Maka untuk menghasilkan 'ilusi hidup' yang terbaik, dibutuhkan modifikasi serta polesan pada gerakan yang asli tersebut, apakah itu bentuknya berupa penyederhanaan ataupun dilebih-lebihkan (dramatisasi, exaggerate).

Penerapan prinsip animasi tersebut selain menjadi ciri khas bagi animasi hasil produksi studio Walt Disney, juga terbukti sangat sukses diterima oleh masyarakat dari belahan dunia manapun dan diakui sebagai produk animasi dengan standar kualitas tertinggi di dunia, bahkan hingga saat ini.
Kumpulan prinsip dasar animasi tersebut yang jumlahnya sebanyak 12 buah, kemudian diperkenalkan dan dipopulerkan kepada publik melalui buku yang berjudul "Disney Animation the Illusion of Life", yang ditulis oleh Frank Thomas dan Ollie Johnston, diterbitkan pertama kali pada tahun 1984.

Seni merekayasa gerakan asli (dengan menggunakan prinsip animasi) agar tampak hidup, adalah yang dapat disebut sebagai 'seni gerakan' (the art of movements).

Prinsip animasi sebagai metoda untuk mengolah dan menghasilkan seni gerakan, tidak khusus hanya untuk diterapkan pada style atau gaya animasi ala Disney. Oleh karena itu animator yang paham dan mengaplikasikan prinsip animasi, tidak serta merta hasil karyanya otomatis akan menjadi persis seperti stylenya Disney.

Terdapat banyak prinsip-prinsip animasi lainnya selain konsep Illusion of Life-nya Disney (12 Fundamental Principles of Animation), misalnya prinsip animasi yang dikembangkan oleh Tex Avery dengan konsep "Celebrating Cartoon as Cartoon", gaya limited animation dari UPA, konsep animasi televisi Hanna dan Barbera, konsep animasi industri ala Jepang (Anime) dan lain sebagainya.

Penerapan satu atau banyak prinsip animasi dalam suatu karya animasi (tergantung dari gaya dan desain animasi), pada intinya dimaksudkan agar animasi yang dihasilkan nanti, apapun kondisinya (full animation, limited, very limited dan sebagainya), akan tampak lebih hidup (believable), maksimal kualitasnya dan menjadi nilai tambah bagi daya tarik produk animasi tersebut.

Dari uraian di atas sekarang seharusnya sudah lebih jelas, mengapa seorang animator harus menguasai prinsip animasi.
Karena tugas animator adalah menciptakan seni gerakan (kecuali menjiplak atau tracing langsung dari film live action, istilahnya Rotoscoping). Jadi tanpa dibekali pemahaman dan pengaplikasian yang tepat dari prinsip-prinsip animasi, maka dapat dipastikan kualitas hasil karya animasinya tidak akan pernah maksimal.


Next... penguasaan tehnik produksi.


Jumat, 30 Maret 2012

Jangan (sebaiknya) Mengaku Animator (2D) Kalau: Tidak Bisa Menggambar


Dari segi teknis, syarat mutlak yang harus dimiliki seorang animator 2D adalah tentu saja skill menggambar, bukan asal bisa saja namun menggambar dengan tehnik, prinsip dan kaidah yang baik dan benar.

Berdasarkan acuan desain (model sheet) yang sudah ditetapkan sebelumnya, seorang animator 2D secara spesifik 'dituntut' untuk mampu mengembangkan karakter animasi yang menjadi tugasnya, kedalam berbagai pose gerakan (acting) sesuai jalannya cerita (script, storyboard), dari sudut pandang kamera manapun sesuai arahan Director (layout), dengan tetap mempertahankan 'konsistensi' detail karakteristik desainnya (On Model).

Dalam dunia animasi 2D (Old School) dikenal istilah 'SLPP' yaitu kepanjangan dari Structure, Line of Action, Proportion dan Perspective. Singkatan tersebut merupakan check list beberapa unsur utama (standar kualitas) yang harus diperhatikan oleh setiap animator 2D, dalam menciptakan helai demi helai gambar-gambar animasi untuk memenuhi tuntutan konsistensi dan on model.

Structure, adalah konstruksi dasar yang membangun bentuk suatu benda (sederhana maupun kompleks). Misalkan dalam menggambar tangan, konstruksi dasarnya adalah gabungan berbagai bentuk geometris primitif seperti kotak segi empat untuk telapak tangan dan rangkaian silinder untuk membentuk jari jemarinya.

Line of Action, adalah garis dasar gestural imajiner untuk membentuk suatu pose yang ekspresif dan dinamis, terutama dalam keperluan animasi karakter. Misalnya garis tegak lurus vertical dapat menyiratkan kesan statis dan tegas, sedangkan garis miring atau melengkung lebih berkesan dinamis atau off balance. Line of action sangat penting peranannya dalam mengkomunikasikan bahasa tubuh (body gesture, pantomime).

Proportion, adalah ukuran yang diperlukan untuk membentuk bangunan suatu benda, misalnya tinggi total manusia ideal adalah 8-9 kali diameter lingkar kepala. Proporsi juga berguna untuk membedakan serta memperkuat karakteristik masing-masing tokoh animasi, sesuai dengan sifat atau peranannya. 

Perspective, adalah acuan untuk menentukan penempatan setiap elemen animasi secara akurat dalam korelasinya dengan lingkungan sekitarnya (staging), berdasarkan sudut pandang kamera yang dipilih (penentuan letak titik hilang atau vanishing point). Penerapan tehnik menggambar perspektif yang tepat dapat menampilkan komposisi gambar yang memiliki ilusi dimensi kedalaman (depth, 3D) dengan sangat meyakinkan (believable).

SLPP menekankan pentingnya kemampuan menggambar secara 3 dimensi (3D), meskipun hasil akhirnya secara fisik nanti hanya berbentuk 2 dimensi (flat, datar).

Menggambar secara 3D artinya menggambar suatu obyek dengan metode konstruksi atau 'membangun' (build), agar hasilnya memiliki unsur kedalaman (depth), isi (volume) dan bobot (mass).
Metoda menggambar ini mirip dengan tehnik mematung (sculpting), yang selalu dimulai dari dalam (konstruksi dasar) dan diakhiri dengan menyelesaikan bagian permukaannya (outline).
Hanya dengan tehnik menggambar secara konstruktif yang memungkinkan seorang animator untuk dapat bebas berkreasi, berekspresi, menciptakan pose-pose bagi obyek gambarnya secara leluasa, dari berbagai sudut perspektif. Selanjutnya dibantu dengan pedoman SLPP tersebut, agar setiap gambar yang dihasilkan selalu terjaga kualitas (solid drawing) dan konsistensinya.

Menggambar dengan metode konstruksi atau sculpting (3D) adalah tehnik menggambar yang paling baik dan benar, setidaknya untuk media animasi 2D.

Setelah dibahas secara teknis, berikut ini adalah beberapa kutipan dari para maestro animasi, yang berbicara tentang modal utama animator 2D, yaitu skill menggambar.

Richard Williams salah satu animator legendaris dan ternama di dunia, akhir-akhir ini sering menyelenggarakan kursus (workshop) animasi kilat, lamanya 3 harian dan pesertanya tidak dibatasi hanya dari kalangan pekerja animasi. Dalam salah satu kegiatan kursusnya itu, salah seorang pesertanya adalah seorang aktor, setelah selesai seluruh rangkaian kursusnya, aktor itu menemui sang mentor dan mengatakan kalau animasi itu ternyata tidak lain dan tidak bukan, adalah tentang cara atau metode berakting, sesuatu yang sudah ia pelajari selama sekolah akting dan bekerja sebagai aktor. Richard Williams menyetujui pendapat muridnya itu, namun ia lalu menambahkan juga, dalam animasi,percuma saja bisa dan jago akting kalau tidak mampu menuangkannya dalam bentuk gambar.

Art Babbitt (animator legendaris Disney) mengatakan: "If you can't draw, forget it. You're an actor without arms and legs."

Walt Disney pada tahun 1935 membuat daftar modal utama yang harus dimiliki seorang animator 2D, nomor satu dalam daftarnya adalah "Good draftmanship."


Next: Prinsip Animasi....

Senin, 26 Maret 2012

Are You Lucky Enough?

Dari kegiatan membaca (bagian dari upaya riset saya untuk memulai blog ini) beberapa ulasan tentang animasi, karya para penulis lokal yang dipublikasikan baru-baru ini, baik melalui buku yang diterbitkan, social network, blog maupun artikel dan liputan di media massa.
Banyak hal yang menarik, sekaligus mengusik hati saya ketika membaca isi tulisan tersebut, termasuk juga komentar-komentar tanggapannya. Apakah itu berupa pertanyaan atau pernyataan, yang dilontarkan oleh baik itu para pekerja animasi yang aktif, maupun orang awam atau pemula yang memiliki minat di bidang animasi.

Jika tulisan dan/ atau tanggapannya berasal dari dari orang awam, sangat bisa dimengerti kalau isinya mungkin kurang sesuai dengan prinsip, kaidah dan metode yang berlaku di dunia animasi professional.
Tetapi lain halnya jika yang menulis, mengulas dan berkomentar tersebut adalah para pelaku animasi yang aktif dan memang berkarir di bidang animasi (guru animasi, animator, pekerja bidang animasi dan sebagainya), namun sayangnya sering kali isi tulisannya cenderung menyesatkan karena tidak didukung oleh pemahaman yang mendalam serta tidak didukung pengalaman dan kompetensi.

Mengapa hati saya terusik? Berikut ini adalah dua (saja) alasannya.

Pertama ketika membaca dan mempelajari buku berjudul "The Animator's Survival Kit", yang ditulis oleh Richard Williams. Pada halaman-halaman pembuka, dituliskan berbagai catatan pengalaman beliau dalam menimba ilmu animasi dari para maestro animasi dunia.
Saya sangat terkesan dengan salah satu quote dari Milt Kahl, salah seorang animator genius yang bekerja di Disney, yang bunyinya; "If you ask questions you find out what you want to know, if... you're lucky enough to ask someone who knows". Perhatikan kata 'if' kedua yang ditandai dari quote tersebut, yang menekankan pentingnya kalimat selanjutnya.

Alasan kedua adalah, ketika saya ingat pernah membaca sebuah artikel berjudul "Animation is a Gift Word" yang ditulis oleh, lagi-lagi seorang genius di bidang animasi, bernama Chuck Jones. Beliau mengatakan bahwa 'animator' adalah sebuah kata yang 'dihadiahkan' (Gift Word) dan bukanlah label yang bisa kita sematkan sendiri. Dan memang kenyatannya tidak hanya pada masa itu saja, sekarangpun banyak sekali orang yang dengan mudahnya mengaku diri sebagai animator, seniman, penyair dan sebagainya, kompeten ataupun tidak.

Berdasarkan kualitas ulasan-ulasan serta artikel animasi yang dipublikasikan oleh penulis lokal tersebut, secara gamblang tercerminkan kondisi umum animasi di Indonesia yang memang ternyata masih dalam tahap pertumbuhan dini. Suatu periode 'merangkak' yang menurut saya pribadi memakan waktu agak terlalu lama, mengingat per'animasi'an di Indonesia sebenarnya sudah mulai tumbuh sejak tahun 60-70an (atau bahkan mungkin lebih awal lagi). Kalau diasosiasikan menggunakan ukuran waktu pertumbuhan usia manusia, seharusnya sekarang sudah berumur 40-50 tahunan, sungguh lucu dan agak tidak masuk akal bukan, kalau dalam usia setua itu kemampuannya baru dalam tahap merangkak.

Jadi poin apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan melalui tulisan ini?

Mungkin lebih sekedar 'reminder' bahwa perjalanan untuk mempelajari, mendalami serta betul-betul memahami suatu bentuk ilmu atau keahlian, secara detail dengan segala seluk beluknya. Prosesnya bagi sebagian besar orang yang normal (non-genius), tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang panjang, mahal, butuh keuletan, pengorbanan dan sebagainya. Itupun kalau cukup beruntung dapat bertanya (baca: berguru) pada orang yang tepat dan memang benar-benar tahu (ahli) dalam bidangnya.

Saya sangat bersyukur karena dalam kasus ini saya cukup beruntung.

Bagaimana dengan anda? Lalu apa tindakan yang akan anda ambil?

Minggu, 25 Maret 2012

Privilege Buat Animator Old School Saja?


  
Di era teknologi maju seperti sekarang ini, khususnya di dunia kreatif visual (illustrasi, animasi). Hampir semua tahapan kerjanya, kalaupun tidak sepenuhnya, sudah ditunjang oleh teknologi komputer.
Masuknya teknologi komputer atau digital ke dalam metode kerja dan produksi, banyak sekali memberikan keuntungan dari segi efisiensi kerja, kemungkinan untuk elaborasi yang lebih luas, praktis dan banyak hal lainnya, namun yang perlu digaris bawahi adalah faktor 'kemudahan' yang membuka banyak jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan atau pemecahan masalah.

Segi positif dari kemajuan teknologi tentunya tidak perlu dipermasalahkan lagi, namun sisi negatifnyalah yang sebaiknya dikenali dan dipahami agar tidak menjadi bumerang yang akan merongrong di kemudian hari.

Animasi 2D atau klasik, adalah tehnik animasi yang prinsip dasar visualisasinya dikerjakan secara manual dengan tangan, di atas sehelai kertas menggunakan pensil atau di atas permukaan tablet menggunakan stylus digital.

Pada hakekatnya animasi klasik (2D) adalah pengembangan atau inovasi lebih lanjut dari kegiatan menggambar (illustrasi), yaitu dengan ditambahkannya prinsip "Ilusi gerakan" yang didasari atas teori 'persistence of vision', untuk menyampaikan suatu ide cerita dalam kerangka filmis (sequential art, cinematography).
Sifat dasarnya yang manual tersebut menuntut para seniman animasi atau 'animator', untuk harus sangat menguasai keahlian menggambar (yang benar). Atau dengan kata lain, animator 2D adalah seorang illustrator (jago gambar) sebelum mulai menekuni dunia animasi.

Menguasai tehnik menggambar yang baik dan benar, selain didukung bakat dan kemauan, juga harus melalui proses belajar dan berlatih dengan menggunakan metoda, prinsip dan kaidah-kaidah dasar tertentu. Suatu proses yang mungkin membutuhkan banyak waktu, ketekunan, keuletan dan kesabaran.
Selanjutnya jika ingin menekuni bidang animasi, maka akan dihadapi lagi proses panjang untuk memahami secara mendalam semua metode dan prinsip-prinsip animasi, dan bagaimana menerapkan atau mengadaptasikan skill dasar menggambar (yang sebelumnya sudah harus dikuasai) ke dalam proses produksi animasi. Belum termasuk waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk mempelajari tehnik visual story telling dan cinematography secara mendalam.

Masalahnya bagi sebagian besar orang di era teknologi tinggi dan komputer yang serba cepat dan instant seperti sekarang ini, segala sesuatu yang sifatnya 'ketekunan manual' atau mungkin istilahnya kerajinan tangan, selalu dianggap sebagai gaya dan tehnik yang kuno, ketinggalan zaman atau disebut 'old school'. Karena faktor 'jalan pintas' yang menjadi kelebihan teknologi digital, semakin memanjakan salah satu sifat dasar manusia modern pada umumnya, yaitu keengganan untuk tekun dan berkomitmen dalam menjalani proses yang butuh waktu lama serta mungkin membosankan, sebelum dapat memetik hasilnya.  

Sebagai seorang pekerja animasi yang beruntung pernah mendapatkan dan menjalani proses pembelajaran secara 'old school', kemajuan teknologi komputer saat ini merupakan suatu anugerah yang sangat besar, karena mampu membuka pintu yang jauh lebih lebar dan luas bagi pengembangan ide kreatif, membawa pencapaian kreatif yang sangat lebih jauh, serta mendobrak segala keterbatasan (breakthrough) yang dihadapi ketika menggunakan metode klasik dari masa lalu.

Mudah-mudahan segala kesenangan, kemewahan dan keuntungan dari kemajuan metode produksi animasi, berkat bantuan teknologi komputer, tidak menjadi 'privilege' atau sesuatu yang khusus yang hanya bisa dinikmati oleh para 'old schooler' atau animator 'gaek' saja. Karena generasi pekerja animasi atau animator masa kini, akan sadar untuk tidak mudah terjebak dan menjadi korban dari budaya 'instant' dan 'jalan pintas', yang kemungkinan besar hanya akan menghasilkan animator robot yang 'hampa', miskin inovasi, seadanya atau tidak memiliki substansi.



Kamis, 22 Maret 2012

Open Sesame!

Bertepatan dengan dipublikasikannya website portfolio pribadi saya, rasanya akan semakin lengkap jika saya tambahkan juga, uraian pemahaman, opini dan pemikiran mengenai bidang karir saya, yaitu animasi.

Blog ini akan saya dedikasikan untuk merekam dan membagikan sebagian pengetahuan, ketertarikan serta pengalaman saya, khususnya di bidang animasi. Selain juga tentunya diselingi dengan beragam hal lainnya, seputar dunia kreatif, yang bagi saya menarik untuk di'share' dan mungkin bermanfaat juga bagi siapapun yang membaca blog ini.

Berikut ini link menuju kumpulan contoh karya saya:

http://vimeo.com/erwinargh/arghdemoreel


"To infinity and beyond!"