Jumat, 06 April 2012

(Part 3) Jangan (sebaiknya) Mengaku Animator (2D) Kalau: Tidak Menguasai SOP Produksi Animasi

Seorang maestro animator dari Disney yang bernama Milt Kahl mengatakan; "Kalau seluruh pengetahuan dan tehnik dasar sudah benar-benar dikuasai, barulah kita memiliki peralatan untuk berkarya, dan hanya setelah itulah kita baru benar-benar siap untuk menghasilkan."

Dalam bidang animasi, pengetahuan dan tehnik dasar yang dimaksud adalah penguasaan skill menggambar yang lengkap, pemahaman tentang prinsip animasi beserta aplikasinya, mengenal SOP (Standard Operating Procedure atau work routine) secara detail dan menyeluruh serta penguasaan teknis perangkat produksi. Tidak cukup hanya sekedar hafal, paham atau mengerti namun harus sudah menjadi kebiasaan (second nature) yang sifatnya refleks.

Jika seorang yang mengaku animator masih saja dipusingkan dengan hal-hal teknis seperti misalnya bagaimana cara menggambar secara struktural, bingung menerapkan kaidah perspektif, tidak bisa mengisi atau membaca Dope Sheet (time sheet atau exposure sheet), tidak hafal bahasa atau istilah-istilah produksi (instruksi teknis), tidak biasa memakai stopwatch dan sebagainya.
Bagaimana mungkin ia bisa dengan leluasa melakukan tugasnya sebagai animator yaitu menciptakan seni gerakan, melakukan studi, eksplorasi gerakan, berakting, meresapi atau menghayati sifat dan perilaku karakter yang dianimasikannya (sesuai arahan sutradara).

Memang ada beberapa detail tahapan produksi yang mungkin tidak dipraktekkan lagi, sejak proses produksi dari cara lama atau klasik yang sepenuhnya dikerjakan secara manual, beralih ke proses produksi digital (computerized, tradigital). Namun pada umumnya teknis dan prosedur kerja masih tetap saja sama dan tidak mengalami terlalu banyak perubahan selain media perantaranya saja (software dan hardware komputer).

Dalam produksi animasi 2D digital dengan tehnik Cut Out Animation misalnya, proses manual seperti Inbetween, Clean Up serta pewarnaan (ink & paint) sudah tidak diperlukan lagi karena proses tersebut sepenuhnya telah diotomatisasi.
Namun pada tahap awal produksi (persiapan), tetap saja masih diperlukan prosedur manual seperti menghitung timing dengan menggunakan stopwatch, mengurai rekaman musik dan suara (dialog) atau istilahnya Sound Breakdown (mengandalkan tehnik otomatisasi saja tidak cukup), penulisan instruksi kerja dan segala informasi yang diperlukan dalam bentuk storyboard dan atau dope sheet (Xsheet), apakah itu bagi animator, compositor, editor, dan sebagainya.

Animator wajib mengenal dan fasih berkomunikasi dengan bahasa produksi yang baku, baik secara verbal ataupun tertulis melalui perangkat standard (dope sheet, storyboard, layout, etc.). Yaitu ketika ia memodifikasi atau menyempurnakan arahan awal (setelah mendapat approval dari director), yang kemudian harus diteruskan kepada team lain yang akan mengerjakan proses selanjutnya (inbetweer, clean up artist, inker, compositor).

Animator juga harus secara penuh menguasai peralatan produksi beserta seluruh perangkat pendukungnya (administratif atau manajemen produksi), seperti misalnya menggunakan stop watch, software dan hardware animasi, membuat timing chart, membaca dan mengisi dope sheet, administrasi file dan folder kerja sesuai aturan (convention) dan lain sebagainya.

Jadi ketika pada era komputer sekarang ini, dimana segala prosedur dan proses produksi semakin dipermudah atau bahkan diotomatisasi, bukan berarti seorang animator tidak perlu lagi menguasai detail prosedural tersebut.
Masalahnya adalah ketika para calon animator belajar produksi animasi digital secara otodidak (atau lebih parah lagi jika berguru pada orang yang salah, atau tidak pernah punya pengalaman kerja di industri animasi professional), dan biasanya bekerja secara perorangan atau dalam kelompok kecil.
Karena tersedianya berbagai fasilitas kemudahan (otomatisasi) dari software produksi animasi tersebut, pada umumnya SOP serta cara kerja prosedural akan diabaikan dan hanya dipahami seperlunya saja, sehingga cenderung yang terjadi adalah melakukan cara kerja dengan tehnik 'jalan pintas', merujuk pada prinsip 'yang penting jadi'.

Untuk menghasilkan karya animasi yang berkualitas tinggi, diperlukan penanganan dan manajemen produksi yang berorientasi detail serta professional. Apalagi jika menyangkut produksi yang membutuhkan kolaborasi dari banyak orang (team work) yang bukan hanya dalam satu studio melainkan juga secara jaringan (network) yang tersebar ke kota atau bahkan negara lain.

Penguasaan SOP dan perangkat kerja yang baik, akan menghindarkan terjadinya salah tafsir, miskomunikasi dan sangat meningkatkan efisiensi kerja (mengurangi faktor kesalahan secara signifikan) serta  memaksimalkan kualitas produksi karena lebih banyak waktu dialokasikan untuk berekspresi dan mengerjakan animasi yang sesungguhnya.

Ulasan di atas mungkin dapat juga menjadi pelengkap bahan renungan untuk menganalisa kenyataan mengapa industri animasi di Indonesia sulit sekali untuk maju, kecuali bagi segelintir studio animasi professional yang rela berpayah-payah mengaplikasi SOP yang berlaku global para proses produksinya.

Tulisan ini sekaligus mengakhiri trilogy yang bertajuk "Jangan Mengaku Animator Kalau:...", karena bagi saya 3 topik tersebut adalah unsur utama yang hukumnya wajib untuk dimiliki seseorang yang memang ingin menyandang gelar animator.

Masih ada kualifikasi lainnya yang akan memastikan tersematnya tambahan 'titel' pada gelar animator yang mungkin sudah anda miliki, yaitu untuk menjadi  'Good' Animator...

 next...


5 komentar:

  1. ayo posting terus dong..... ditunggu ya......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Mahfud, salam kenal.
      Terima kasih banyak atas kesediannya berkomentar bahkan jadi pengikut, btw saya sudah terbitkan posting terbaru silahkan dibaca mudah-mudahan bermanfaat.

      Hapus
  2. big thanks yo kang agrh untuk postingnya.... hebat uyyy...
    kang klo yang di maksud "prosedur manual seperti menghitung timing dengan menggunakan stopwatch" itu gimana ya caranya newbie nihh...thx

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Rida,

      Terima kasih banyak untuk kunjungannya dan pertanyaannya, saya coba jawab sesederhana mungkin ya.

      Unsur paling utama dalam animasi adalah tentunya 'Timing', jadi seorang animator harus memiliki skill menghitung timing, baik itu untuk gerakan animasinya ataupun keperluan storytelling seperti misalnya: timing untuk gerakan kamera, establishing shot, unsur dramatisasi, dan sebagainya.

      Satu-satunya cara untuk mengetahui dan menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan (timing) untuk setiap keperluan tersebut adalah dengan menggunakan stopwatch.

      Caranya tentunya dengan menekan tombol start di stopwatch pada saat gerakan yang kita mau hitung itu dimulai dan tekan stop ketika berakhir. Dalam menghitung timing kita bisa menggunakan daya imaginasi atau khayal yaitu membayangkan secara real time gerakan yang dimaksud, atau secara langsung memperagakan gerakan tersebut. Itulah sebabnya mengapa animator juga harus memiliki skill berakting.

      Mudah2an menjawab pertanyaannya, maaf baru sempat menjawab sekarang.

      Hapus
  3. wah terima kasih mas atas tulisan2nya. benar2 memotivasi diri saya buat lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras lagi agar layak disebut sebagai animator :)

    BalasHapus