Minggu, 10 Juli 2016

Mudik Tribute

Terinspirasi dari budaya mudik setiap menjelang perayaan Idul Fitri, dimana ratusan hingga ratusan ribu orang rela menempuh perjalan jauh hingga ribuan kilometer demi merayakan lebaran bersama seluruh keluarga besar di kampung halaman.

Animasi sederhana ini sebagai tribute kepada para pemudik tersebut, semoga perjalanan mereka pergi dan pulang selalui dalam keadaan aman dan terhindar dari segala kesulitan dan musibah.


... dan ini video utuhnya.

Jumat, 04 September 2015

Belajar Animasi: 2D atau 3D dulu?

Sedikit meluruskan jargon yang digunakan agar tidak bingung. 2D, 3D, Stop Motion semua sama mediumnya yaitu Animasi, istilah 2D (classical animation), 3D dan Stop Motion adalah untuk membedakan metoda dan prosedur teknisnya; 2D itu metodanya digambar secara manual baik secara digital (digitizer, scanner)ataupun tradisional (pensil dan kertas), 3D seluruh elemen animasinya dikerjakan secara virtual menggunakan komputer . Stop Motion menganimasikan secara manual dengan  menggunakan benda atau bahan tiga dimensi yang nyata atau real life seperti clay, armature puppet, dan lain-lain.

Mengenai pernyataan yang banyak beredar dan masih sering diperdebatkan, yaitu; "Untuk bisa jadi animator 3D yg berkualitas harus atau sebaiknya belajar animasi 2D terlebih dahulu", bagi saya pribadi terasa kurang tepat dan ketinggalan zaman. 
Mungkin pada awalnya pendapat tersebut lahir hanya karena didasari oleh keinginan sekelompok animator 2D agar mereka tetap bisa eksis serta masih dianggap penting, ditengah semakin meningkatnya kepopuleran animasi 3D yang berdampak pada menurunnya minat pelaku (eksisting dan calon animator, pebisnis etc.) dan pasar terhadap animasi 2D.  
Juga fakta pada masa-masa awal ketika animasi 3D mulai berkembang, demi tuntutan survival agar tidak kehilangan mata pencaharian, lebih banyak 2D animator berpengalaman yang beralih ke 3D dibandingkan yang asli mulai dari awal berkarir dan berkarya menggunakan metoda 3D.

Pada kenyatannya yang paling menentukan bagi animator 2D maupun 3D agar memiliki kualitas terbaik dalam menganimasi adalah seberapa dalam tingkat pemahamannya mengenai prinsip animasi dan penguasaan teknis pekerjaannya. 

Keberhasilan dalam memahami prinsip animasi sama sekali tidak ada kaitannya dengan metoda teknis animasi (2D atau 3D) yang dipilih. Artinya seorang 3D animator tanpa skill menggambar sekalipun dan dari awal dengan secara eksklusif hanya menggunakan metoda animasi 3D, dia dapat mempelajari prinsip animasi dengan hasil pemahaman yang sama baik atau bahkan buruknya dengan animator 2D.

Karena tuntutan metoda teknis, seorang animator 2D wajib harus memiliki skill drawing yang kuat sebagai modal agar dapat memahami prinsip animasi secara lebih mudah, lengkap dan sempurna, apalagi jika mengingat terdapat banyak variasi style animasi (Anime, Disney style, Cut Out dan lainnya) yang mana masing-masing menuntut adaptasi dan modifikasi penerapan prinsip animasi secara spesifik.
Drawing skill atau keahlian dalam menggambar inilah yg menjadi nilai tambah bagi seorang animator 2D jika dibandingkan dengan animator 3D, yaitu salah satunya dalam hal kemudahan animator 2D untuk migrasi ke 3D daripada jika yang terjadi adalah kebalikannya yaitu dari 3D beralih ke 2D (hanya berlaku bagi animator 3D yang memang sama sekali tidak punya skill menggambar).

Belajar medium animasi untuk mencapai tingkat keahlian yang tinggi bukanlah perkara yang mudah, dibutuhkan dedikasi dan disiplin yang tinggi untuk benar-benar menguasainya secara penuh. Oleh sebab itu sebagai langkah awal mulailah belajar dengan memilih metoda yang paling mudah untuk dipahami dan menyenangkan untuk dikerjakan.


Minggu, 31 Mei 2015

Karier Saya Dalam Satu Gambar

Pepatah mengatakan satu gambar senilai dengan ribuan kata, kalau karier saya dalam dunia animasi 2D di masa lalu, sekarang dan masa depan dituangkan dalam satu gambar, kira-kira seperti ini wujudnya:



Jumat, 22 Agustus 2014

Super Hero Klasik Indonesia; a Tribute Part 2: Animation

Godam animation test, menggunakan format GIF sebagai uji coba:







Will be back with more animation, stay tuned :)

Kamis, 22 Agustus 2013

Super Hero Klasik Indonesia; a Tribute Part 1: Character Design

Sebagai penggemar bacaan komik bergenre Super Hero, selain sudah pasti pengagum berat karakter-karakter populer dari luar negeri terutama tokoh-tokoh yang diterbitkan oleh DC Comics dan Marvel. Karakter pahlawan super ciptaan komikus lokal juga tentunya tidak luput dari perhatian, terlepas dari berbagai kekurangan dari segi teknis (cerita, kualitas cetak, visualisasi, etc.) maupun kontroversinya (adaptasi/ meniru langsung dari karakter luar negeri).

Pahlawan Super lokal yang sangat menarik perhatian saya dan cukup membuat jatuh hati adalah yang lahir sekitar tahun 60 - 70'an, melalui tangan dingin komikus dalam negeri seperti Wid NS. dan Hasmi. Tokoh-tokoh seperti Godam, Gundala, Maza, Pangeran Mlaar dan Aquanus selalu saya nantikan kisah-kisah sepak terjangnya dan sangat inspiratif di masa saya mulai tumbuh dan berkembang dalam mengapresiasi seni sequential (komik, animasi, film).

Kini setelah sekian lama saya berkecimpung dalam salah satu bidang seni sequential yaitu animasi 2D, terbersit pemikiran atau ide serta rasa penasaran saya untuk mencari tahu kira-kira seperti apa bentuknya jika tokoh-tokoh pahlawan super lokal tersebut diangkat dan diadaptasikan ke dalam medium animasi 2D.

Berikut ini adalah kira-kira gambaran dan tahap awal jika saya berkesempatan untuk melakukan adaptasi tersebut.

Dimulai dari desain karakternya :



Berikut desain karakter alternatif lainnya, mungkin untuk cerita yang lebih bersifat komedi (cartoony) atau ditujukan untuk anak-anak usia 5 sampai 10 tahun.





Sebagai catatan penting, hak cipta karakter-karakter tersebut adalah sepenuhnya milik penciptanya dan atau pihak yang memiliki copyright dan lisensi yang sah. Saya menggunakan atau meminjam karakter-karakter tersebut hanya dalam kapasitas saya sebagai penggemar dan sepenuhnya untuk keperluan kesenangan semata (fan art) dan edukasi. Tidak ada tujuan untuk meraih keuntungan finansial apapun atau untuk keperluan komersial dan tidak untuk diperjual belikan.
Namun jika ternyata ada investor yang berminat dan didukung oleh pemilik lisensi tentunya saya dengan senang hati akan bersedia membantu secara professional and you know where to find me :)

Next, part 2 : Animasinya (tergantung juga sih dari banyaknya yg respons) ?




Selasa, 16 Juli 2013

Saya Sebagai Narasumber

Untuk mengisi kekosongan materi blog saya, untuk sementara berikut ini adalah link atau tautan dari beberapa kumpulan artikel di internet yang saya temukan, dengan topik seputar dunia animasi yang menjadikan saya sebagai narasumbernya atau memuat nama saya didalamnya.


Artikel 1:

http://inet.detik.com/read/2013/07/15/105805/2302636/455/erwin-argh-menjadi-tuhan-kecil-dengan-animasi

Artikel 2:

http://inet.detik.com/read/2013/05/27/153235/2256890/398/upin-ipin-dan-ironi-animasi-negeri-sendiri?i991102105


Artikel 3:
Topiknya mengenai sejarah perkembangan dunia animasi di Asia dan khususnya di Malaysia, nama saya tercantumkan dalam salah satu halaman di artikel ini berkat kontribusi saya dan studio tempat saya bekerja kala itu dalam memproduksi beberapa film layar lebar animasi di Malaysia (page 3-5)

http://www.axapac.com/news/singapore/mousedeer-alien-creaturesanimated-feature-filmmaking-malaysia-part-i


Enjoy!

Rabu, 26 September 2012

Team Versus Solo Effort : Part 3

Semenjak studio animasi tempat saya bernaung, mengawali karir, belajar dan berkarya akhirnya berhenti beroperasi, saya berkesempatan dan memutuskan untuk mulai bersolo karir.

Selama meniti karir di dunia animasi, saya telah menjalani dan memahami dengan cukup baik dan secara mendetail semua seluk beluk tahapan proses produksi, artinya saya memiliki modal skill dan pengetahuan yang paling tidak memadai serta memenuhi syarat untuk mulai bersolo effort.

Teknologi komputer dan program software pada saat ini juga sudah jauh berkembang dibandingkan era ketika saya masih berkecimpung di studio animasi yang lama, khususnya untuk teknologi produksi animasi 2D yang merupakan medium pilihan saya.

Berkat kecanggihan teknologi tersebut, kini cukup hanya dengan mengandalkan sebuah laptop, secara teknis semua kebutuhan sebuah studio animasi yang lengkap sudah dapat terpenuhi.

Meskipun keputusan bersolo effort dilandasi juga karena adanya desakan survival (mempertahankan kepulan asap di dapur), namun setelah mulai menjalaninya ternyata kemudian muncul pula perasaan lega dan kepuasan yang jarang atau bahkan tidak pernah saya alami selama bekerja sebagai bagian dari suatu kerja team.

Secara solo effort, proses produksi berjalan jauh lebih cepat dan lancar karena tidak diperlukan lagi proses birokratif pendelegasian pekerjaan serta langkah-langkah prosedural untuk kontrol, instruksi dan atau penyediaan perangkat manajemen produksi lainnya yang biasa dibutuhkan untuk bekerja secara team.

Tidak ada lagi waktu yang dihabiskan untuk mengadakan creative briefing, menyiapkan creative direction document/ tools (storyboard, model sheet, X-sheet, etc.), proses pemantauan kualitas kerja team atau disebut QC (quality control), revisi pekerjaan team dan sebagainya.

Problem miskomunikasi, salah tafsir dan masalah emosional yang umumnya dan dipastikan selalu terjadi jika harus berurusan atau berinteraksi dengan banyak orang, dengan berbagai sifat, mentalitas atau karakteristik serta kemampuan skillnya, secara efektif terhapuskan.

Tidak perlu lagi harus terpaksa (karena terbentur deadline, budget) rela untuk menurunkan standar kualitas (sebagai director maupun studio) hanya karena kurangnya kemampuan skill dan wawasan staff animator lainnya.

Berikut ini adalah contoh perbandingan produksi yang dihasilkan secara teamwork dan solo effort.

Teamwork: "Lateboy"
 

Karya animasi tersebut melibatkan animator sebanyak 4-6 orang, dengan lama waktu pengerjaan sekitar 4-5 minggu (20-25 hari kerja). Tehnik animasi yang digunakan adalah menggambar secara manual di atas kertas, selanjutnya proses pewarnaan dan compositing menggunakan software digital. Selain berperan sebagai director, dalam memproduksi karya ini saya mengerjakan storyboard, layout dan BG paint, key animation pada beberapa scene, coloring (ink and paint) serta editing (compositing, final mixing).

Berikutnya adalah contoh karya animasi yang saya tangani sendirian (termasuk presentasi dan meeting dengan client), seluruhnya dikerjakan secara digital (paperless), waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya kurang lebih 4 minggu juga.

Solo Effort: "Being Dumped"

 
 
Kemiripan dari dua contoh project animasi di atas adalah dari segi kendala, yaitu keduanya sama-sama dikerjakan sambil belajar atau istilah populernya “Learning by doing”.

Pada project yang dikerjakan secara team saya bekerja dengan anggota yang masih 'fresh' alias baru direkrut dan masih dalam tahap training. Sedangkan pada project yang saya kerjakan sendiri, saya masih belajar dan belum sepenuhnya menguasai software animasi yang digunakan untuk produksi.

Dari contoh perbandingan dua karya animasi tersebut mungkin dapat diambil salah satu kesimpulan penting, yaitu dengan bantuan software animasi yang kian canggih dan lengkap, tidak perlu lagi dibutuhkan banyak animator untuk mengerjakan suatu project animasi yang cukup bermutu.

Tapi...

Tergantung skill yang dimiliki dan ketahanan fisik serta mental sang animator, khusus untuk mengerjakan project yang besar, berdurasi panjang dan berkesinambungan (serial animasi, layar lebar atau feature film dan sebagainya), kerja secara team work tetap masih merupakan pilihan yang paling sehat dan waras.